Tanggapan Reflektif
Setelah melakukan refleksi diri terhadap perjalanan Pendidikan Indonesia sebelum Kemerdekaan dan membandingkannya dengan kondisi pendidikan saat ini pada konteks sekolah saya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disajikan..
Dalam memahami secara garis besar pemikiran (filosofi pendidikan) Ki Hadjar Dewantara (KHD). Saya sudah mengakses materi dalam bentuk video dengan judul Pendidikan Zaman Kolonial, selanjutnya Anda akan mengakses materi berupa 3 tulisan Ki Hadjar Dewantara untuk memahami pemikiran-pemikiran filosofis pendidikan KHD pada halaman berikutnya.
1. Kerangka pemikiran KHD
Saya belajar untuk memahami secara garis besar pemikiran (filosofi pendidikan) Ki Hadjar Dewantara (KHD) silakan cermati 2 tulisan Ki Hadjar Dewantara (untuk memahami pemikiran-pemikiran filosofi pendidikan KHD).
Berikut Bacaan Kerangka Pemikiran KHD, bersumber dari Modul 1.1. PGP
1. Arti dan Masksud Pendidikan
Kata ‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali dipakai bersama-sama. Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan
pengertiannya yang asli.
‘pengajaran’ (onderwijs) itu merupakan
salah satu bagian dari pendidikan.
Maksudnya, pengajaran itu tidak lain
adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat
hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.
Dalam arti khususnya, pendidikan
mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa tiap-tiap
aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan
mempunyai maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya
yang berbeda-beda, cara mendidiknya juga tidak sama.
Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan
dalam beragam jenis pendidikan itu, pendidikan diartikan sebagai
‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksud Pendidikan yaitu:
menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik
sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
2. Hanya Tuntunan dalam Hidup
Pertama kali harus diingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu
‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita.
Artinya, bahwa
hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita
kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda.
3. Perlukah Tuntunan Pendidikan itu?
Meskipun pendidikan itu hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, tetapi perlu juga Pendidikan itu berhubungan
dengan kodrat keadaan dan keadaannya setiap anak.
Andaikata anak
tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut perlu mendapatkan tuntunan
agar semakin baik budi pekertinya. Anak yang dasar jiwanya tidak baik
dan juga tidak mendapat tuntunan pendidikan, tentu akan mudah
menjadi orang jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih
memerlukan tuntunan. Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan
mendapatkan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan tetapi dengan
adanya tuntunan itu ia dapat terlepas dari segala macam pengaruh
jahat.
4. Dasar Jiwa Anak dan Kekuasaan Pendidikan
Yang dimaksud dengan istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan jiwa yang
asli menurut kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di
luar diri.
Dengan kata lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika
lahir di dunia. Mengenai dasar jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat
tiga aliran yang berhubungan dengan soal daya Pendidikan.
5. Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah
Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi
dua bagian.
Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian
yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran
(intelek) serta dapat berubah menurut pengaruh pendidikan atau
keadaan.
Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian yang
berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang
dikatakan tidak dapat berubah lagi selama hidup.
Yang disebut intelligible yang dapat berubah karena pengaruh
misalnya kelemahan pikiran, kebodohan, kurang baiknya pemandangan,
kurang cepatnya berpikir dan sebagainya.
6. Perlunya Menguasai Diri dalam Pendidikan
Budi Pekerti
Watak bologis dan tidak dapat lenyap dari jiwa manusia sangat
banyak contohnya.
Kita juga dapat melihat dalam kehidupan setiap
manusia. Misalnya, orang yang karena pendidikannya, keadaan dan
pengaruh lainnya, seharusnya berbudi dermawan. Namun demikian, jika
ia memang mempunyai dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan selalu
keliatan kikir, walaupun orang tersebut tahu akan kewajibannya sebagai
dermawan terhadap fakir miskin (ini pengaruh pendidikannnya yang
baik). Semasa ia tidak sempat berpikir, tentulah tabiat kikir orang tersebut
itu akan selalu kelihatan. Setidak-tidaknya kedermawanan orang itu akan
berbeda dengan orang yang memang berdasar watak dermawan.
Janganlah pendidik itu berputus asa karana menganggap tabiattabiat yang biologis (hidup perasaan) itu tidak dapat dilenyapkan sama
sekali.
7. Jenis-Jenis Budi Pekerti
Setelah kita mengetahui bahwa budi pekerti seseorang itu dapat
mewujudkan sifat kebatinan seseorang dengan pasti dan tetap, kita juga
harus mengetahui pula bahwa tida ada dua budi pekerti orang yang sama.
Prof.
Dr. Heymans, guru besar Universitas Groningen, yang sudah mengadakan
penyelidikan disertai percobaan dan ditetapkan adanya 8 jenis budi pekerti
orang.
Ada pula yang membagi budi pekerti menjadi beberapa jenis
berdasarkan hasrat seseorang. Jadi, bukan pembagian analytis, akan tetapi
pembagian secara global dan etis (etis = menurut rasa adab).
Adapun Prof.
Spranger membagi budi pekerti menjadi 6 jenis, yakni bersandar pada Hasrat
orang pada: 1. Kekuasaan (machtsmensch), 2. Agama (religious mench), 3.
Keindahan (kunstmensch), 4. Kegunaan atau faedah (nutsmensch atau
econimisch mensch), 5. Pengetahuan atau kenyataan (wetenschaps) dan 6.
Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale mensch).
8. Naluri Pendidikan
Naluri atau instinct disebabkan
pula oleh adanya naluri yang pokok (oerinstinct), yang bertujuan agar
terwujudnya keberlangsungan keturunan (ngudhi-tuwuh), behoud van de
sort).
Pendidikan yang dilakukan oleh setiap orang terhadap anak-anaknya,
pada umumnya hanya berdasarkan pada cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan
seringkali dipengaruhi oleh perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik.
Dengan kata lain, tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Jika terdapat
keinsyafan, maka keinsyafan itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau
‘rabaan’ belaka, yakni tida berdasarkan pengetahuan. Andaikata ada dasar
pengetahuan yang berasal dari ‘pengalaman’, sehingga hal ini berarti kurang
luar (eenzijdig).
9. Syarat-Syarat Pengetahuan
Pendidikan yang teratur yaitu pendidikan yang berdasarkan pada
pengetahuan, yang dinamakan “Ilmu Pendidikan”.
Ilmu ini tidak berdiri sendiri,
akan tetapi masih berhubungan ilmu-ilmu lainnya, yang dinamakan ilmu
syarat-syarat pendidikan (hulpwetenschappen), yang terbagi menjadi 5 jenis,
yaitu:
1. Ilmu hidup batin manusia (ilmu jiwa, psychologie);
2. Ilmu hidup jasmani manusia (fysiologie);
3. Ilmu keadaan atau kesopanan (etika atau moral);
4. Ilmu keindahan atau ketertiban-lahir (estetika);
5. Ilmu tambo Pendidikan (ikhtisar cara-cara Pendidikan)
10. Peralatan Pendidikan
Peralatan Pendidikan
Yang dimaksud dengan ‘peralatan’ adalah alat-alat pokok, yakni caracara mendidik.
Perlu diketahui bahwa cara-cara mendidik beragam
banyaknya, akan tetapi pada dasarnya cara tersebut dapat dibagi seperti
berikut:
1. Memberi contoh (voorbeld);
2. Pembiasaan (pakulinan, gewoontervorming)
3. Pengajaran (wulang-wuruk, leering)
4. Perintah, paksaan dan hukuman (regearing en tucht);
5. Tindakan (laku, zelfberheersching, zelfdiscipline);
6. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving).
Cara-cara tersebut tidak perlu dilakukan semuanya, bahkan ada kaum
pendidik yang tidak sepakat dengan salah satu cara. Misalnya, para pendidik
dari pihak vrije opvoeding (Pendidikan bebas), tidak suka memakai alat
nomor 4 (perintah, paksaan, hukuman). Seringkali pendidik menggunakan
salah satu cara saja dan pada umumnya disesuaikan dengan keadaankeadaan tertentu, misalnya disesuaikan dengan umur anak-anak didik.
11. Hubungan dengan Umur
Untuk keperluan Pendidikan, umur anak didik dibagi menjadi 3 masa,
masing-masing dari 7 atau 8 tahun (1 windu):
a) waktu pertama (1-7 tahun)
dinamakan masa kanak-kanak (kinderperiode);
b) waktu kedua (7-14 tahun),
yakni masa pertumbuhan jiwa pikiran (intillectueele periode); dan
c) masa
10 ketiga (14-21 tahun) dinamakan masa terbentuknya budi pekerti (sociale
periode).
Apabila alat-alat atau cara-cara Pendidikan di atas dihubungkan
dengan umur anak-anak, maka berikut dapat disajikan penggunaan cara
sesuai dengan umur tersebut:
a) Masa kanak-kanak: cara no.1 dan no.2;
b) Masa ke-2: cara no. 3 dan no. 4;
c) Masa ke-3: cara no. 5 dan no.6.
Reflektifnya, Pendidikan itu harus memerhatikan 11 point di atas agar dapat terpenuhi dan terwujud.
Komentar
Posting Komentar